Friday, March 23, 2012

TAIS & ULOS: JEMBATAN HATI [catatan ringan]-1

Perupa Grace Siregar dari Indonesia dan penyair Abe Barreto Soares dari Timor Leste menggelar pameran berdua yang bertemakan Tais Dan Ulos: Jembatan Hati di ex-gedung Unesco, Acait, Dili, Timor Leste, Juli 2001.

Pameran berdua ini merupakan bentuk rekonsiliasi damai melalui budaya antara Indonesia dan Timor Leste. Simbol Timor Leste diambil melalui tenunan tradisional mereka yang disebut Tais. Sedangkan Ulos, tenunan tradisional Batak mewakili Indonesia.

Grace Siregar memamerkan 2 karya lukis berukuran besar dan 25 buah karya drawingnya yang dibuat selama dia tinggal di Timor Leste setelah kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia. Grace Siregar juga mempertunjukkan karya Performance Art berjudul Freedom/Kebebasan di acara pembukaan pameran mereka dengan dilanjutkan tarian tradisional Batak, Tor-tor yang diikuti oleh musik tradisional Batak, Gondang.

Abe Barreto Soares membacakan karya-karya syairannya di acara pembukaan pameran. Setelah itu karya-karya syairan Abe dipamerkan bersama-sama dengan karya lukis dan drawing Grace Siregar.

Pameran ini mendapat dukungan penuh dari para penikmat senirupa Timor Leste dan internasional. Pameran ini juga mendapat perhatian liputan dari BBC dan dari media TV dan koran nasional Timor Leste.

Pameran berdua ini dikurator oleh Grace Siregar a.k.a Kali Seratus dan Abe Barreto Soares.

Friday, March 16, 2012

WAWANCARA ABC DENGAN ABS-29-9-2009

Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Timor Leste Dalam Puisi

Sabtu, 29 Agustus 2009 16:32 Linda LoPresti, Radio Australia


Akhir pekan ini, Timor Leste merayakan hari kemerdekaannya yang ke 10.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Leste memutuskan untuk melepaskan diri dari pemerintahan Indonesia.

Lebih dari 90 persen penduduk provinsi itu menyatakan diri ingin melepaskan dari Indonesia, merdeka dalam refrendum yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tapi pemilu untuk melepaskan diri ini memicu tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan Indonesia dan milisi pro Jakarta.

Kekacauan berdarah menyebabkan hampir seribuan orang tewas.

Itu memang bukan jalan yang mudah bagi negara termuda di dunia tersebut tapi rakyat Timor Leste mulai menceritakan kisah mereka terutama lewat puisi tanpa rasa takut dan penindasan.

Linda LoPresti dari Radio Australia menyusun laporan lengkapnya.

Band lokal Timor Leste, Hacutobar, memainkan lagu resmi referendum,
Dan rakyat Timor Leste memutuskan pada 30 Agustus 1999.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mensponsori langkah penentuan tersebut dan saat itu disambut Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Dili, Jamsheed Market.

“Saat ini elang kemerdekaan telah mendarat .... di atas rakyat Timor Leste.”

Tiga tahun kemudian Timor Leste menjadi negara termuda di dunia. Dengan kebebasan politik, datanglah kebebasan berekspresi.

Abe Soares adalah salah seorang penyair kenamaan Timor Leste.

Dia pernah tinggal di Indonesia, Kanada dan Portugal tapi ia besar di Timor Leste ketika menjadi bagian pemerintahan Indonesia. Ia terinspirasi untuk menulis apa yang telah ia saksikan.

“Suara saya mengatakan saya seharusnya menulis tentang Timor. Seharusnya menulis akar saya, tempat saya berasal.”

Q. Timor Leste saat itu berada di bawah kekuasaan Indonesia. Apakah Anda merasa bebas menulis apa yang anda rasakan?

“Tidak, saya tidak merasa bebas sama sekali. Saya menggunakan nama samaran dan tidak mempublikasikan hasil karya saya, hanya menunjukkan pada teman yang saya percaya.”

Pada 1999 seiring Timor Leste sedang mempersiapkan perubahan bersejarah, Abe Soares tinggal di Lisbon. Dia bangga bisa memberikan suaranya bagi kemerdekaan dari sana.

Setahun kemudian, ia kembali ke Timor Leste untuk bertemu generasi penulis muda baru dan berhasrat untuk membagi kisahnya terutama lewat puisi.

“Saya kembali ke Timor Leste dan membentuk kelompok puisi yang anggotanya para penyair di kota. Dan dari kegiatan itu saya tahu siapa saja yang mendiskusikan literatur dan ilmu pengetahuan lalu kelompok itu menjadi cikal bakal proyek saya.”

Selama pendudukan Indonesia, tema yang sering di tulis oleh kaum intelektual Timor dan pemimpin seperti Francisco Borgia da Costa atau Xanana Gusmao adalah kemerdekaan.

Tapi kini temanya berubah.

Leigh Ashley Lipscomb adalah peneliti senior di Pusat Kajian Kejahatan Perang Berkley di California.

“Puisi tentang kemerdekaan adalah seni tersembunyi. Dan seni politik dan politik puisi tetap ada namun, membuka lebih beragam bentuk arti seni dalam bahasa, tema dan perspektif.”

Puisi juga merupakan bentuk ekspresi literatur utama di Timor Leste.

Leigh mengatakan ketika puisi perlawanan ada dalam ekspresi orang Timor, ada generasi baru penulis yang muncul dari bayangan kekerasan masa lalu, yang mengusung hal baru.

“Generasi baru merangkul tema yang lebih luas, cinta, lingkungan tapi politik tetap jadi tema yang dominan. Dalam hal ini, saya akan setuju kalau dikatakan keadilan telah menggantikan tema kemerdekaan.”

Sepuluh tahun terakhir menjadi masa sulit bagi Timor Leste. Menjadi salah satu negara termiskin di kawasan Asia Pasifik, angka melek hurufnya rendah dan kekerasan adalah ancaman yang sampai kini masih ada.

Pada 2006, konflik internal di tubuh militer Timor Leste memunculkan kekerasan di jalanan di seluruh negeri. Terdapat korban tewas dan ribuan orang mengungsi. Aksi kekerasan itu kemudian mendorong masuknya campur tangan militer oleh beberapa negara termasuk Australia.

“Saya hidup dalam situasi seperti ini dan sebagai seorang penyair, respon apa yang harus saya miliki? Saya lalu mengambil pena dan menulis.”

Orang Timor menulis karena mereka punya cerita untuk dibagikan, kisah-kisah tentang masa lalu, harapan serta masa depan.

Ashley Lipscomb yakin ini akan terus berkembang dalam cara yang lebih eksperimental.

“Saya punya mimpi untuk punya literatur sebagai salah satu elemen arus utama. Saya ingin kita punya literatur Timor di universitas nasional sehingga universitas punya departemen Literatur Tetum. Itu mimpi saya. Saya berharap ini akan terwujud satu hari nanti.”